Cari Blog Ini

Sabtu, 11 April 2015

mBELING

Puluhan tahun bangsa ini mengutamakan formalitas, bukan kualitas dan integritas. Berpuluh tahun para pemimpinnya mengedepankan identitas (citra, pamor diri, sertifikat, label) dan menindas pribadi-pribadi yang berkualitas dan berintegritas. Sertifikasi (identitas dalam standar formalitas) pun menjadi komoditas tersubur bagi pengelola bangsa yang benar-benar menjunjung tinggi martabat keculasan. Nyaris seluruh bentuk sertifikasi di Republik Munafik ini merupakan formalitas belaka, bukan menjadi bukti atas suatu nilai yang pantas diraih hingga tersurat dalam sebuah sertifikat. Sedangkan formalitas itu sendiri bukan suatu prosedur berkualitas-berintegritas, melainkan identik dengan selembar barcode alias bernilai uang.

Bisnis formalitas-sertifikat sangat marak sebab sebagian masyarakat masih mudah diperdaya oleh tipu-muslihat para birokrat mengenai betapa pentingnya selembar bukti formal. Bukti formal bisa mendongkrak sebuah citra. Sebuah citra dianggap merupakan cermin jati diri, termasuk gengsi diri. Dengan citra, harga diri bisa melambung. Dengan melambungnya harga diri, melambung pula harga dirinya secara finansial. Finansial merupakan jantung sebuah bisnis, termasuk bisnis formalitas. Oleh karenanya dalam bisnis formalitas, uang/pembayaran menjadi penentunya. Nilai atas uji kelayakan bisa dibeli, dan keluarlah sertifikatnya. Alangkah mudah memperoleh bukti formalitas jika memiliki modal finansial sesuai dengan nilai formalitas yang diinginkan. Sementara sebagian orang merasa jantungnya bisa berdetak dengan mantap jika citra dirinya dapat tertuang secara formal dalam lembar sertifikat. Arti Tidak heran jika Dengan harga tertentu, sebagian lainnya “membeli” sertifikat formalitas, bukan berupaya sebaik mungkin mendapatkan kelayakan. Kejujuran digempur, digusur, dianggurkan, dan digugurkan.

Keculasan diunggulkan, diagungkan, dan didayagunakan semaksimal mungkin. Kepintaran hanyalah untuk memperkuat kubu keculasan seolah cula bagi seekor badak. Kotbah-kotbah di mimbar agama yang sudah bertebaran di media massa tidak lebih dari upaya memanipulasi realitas! Anak-anak bangsa berebutan mendapatkan formalitas demi sebuah identitas yang sangat prestisiusitas. Untuk mendapatkan itu, anak-anak bangsa berani membelinya karena para pengelola bangsa memang membisniskannya. Kualitas dan integritas pun tidak menjadi penting dan berstandar tinggi. Kemudian, ketika sebagian anak-anak bangsa tersebut berhasil mendapatkannya, lantas meneruskan tradisi bisnis formalitas-identitas seperti yang diajarkan oleh para pendahulunya. Formalitas tidak akan pernah menghasilkan orang-orang cerdas-berkualitas-berintegritas, melainkan orang-orang beridentitas serba culas. Formalitas pun merupakan komoditas yang tiada pernah terbatas pada waktu tertentu; mengalir deras dalam kepentingan orang-orang culas.

Dan orang-orang culas inilah yang mengelola bangsa ini, dan melestarikan formalitas sebagai sebuah komoditas yang lebih menggiurkan daripada minyak dan gas. Begitulah realitas di bangsa ini. Keculasan menjadi suatu karakter yang utama; keculasan menjadi bagian dari martabat. Semakin culas, semakin bermartabat. Tidak culas, tidaklah berguna bahkan membahayakan identitas orang-orang culas. Ya, kesannya, bangsa ini membutuhkan banyak sekali orang pintar, bukan orang jujur. Mudah-mudahan tulisan mbeling ini salah besar.

Tidak ada komentar: