Cari Blog Ini

Sabtu, 02 Mei 2009

Kerja adalah Karunia, apakah anda mencintai pekerjaan anda

Mari kita ingat, kapan terakhir kali, kita bangun pagi dan begitu bersemangat untuk bekerja? Atau sebaliknya, betapa "sebal"nya kita terpaksa harus bangun pagi dan harus pergi kerja? Sebagai profesional kita tentu akrab dengan kata-kata "I don't like Monday" dan "Thank God It's Friday," dan mengerti betul betapa menyebalkannya kita memasuki hari Senin untuk bekerja, dan secara berbeda menyambut hari Jumat sebagai "hari gaul sedunia" secara antusias. Dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan sebuah kelompok profesional di sebuah perusahaan multinasional, saya pernah menanyakan hal yang sama seperti di atas. "Ya, kapan, ya, kita terakhir kali merasakan gairah yang menggebu dalam bekerja? Apalagi kalau saya lagi banyak pekerjaan. Stress. Satu pekerjaan belum selesai---pekerjaan lain sudah datang. Belum lagi mendadak sang Boss mengajak kita meeting. Waduh!"Atau coba kita simak pernyataan salah satu profesional yang cukup ekstrem---"Mas, saya sudah tidak tahan bekerja di sini. Saya hampir-hampir tidak punya waktu untuk keluarga. Sabtu dan Minggu, juga tersita untuk pekerjaan. Bekerja dari target ke target. Aturan dan sistem di perusahaan terus berubah. Saya sering bingung, mana yang harus menjadi prioritas."Bekerja, baik di perusahaan atau usaha sendiri, memang telah menjadi sebuah "dunia" tersendiri. Pesonanya telah membangun strata status sosial tersendiri, termasuk seluruh atributnya baik jabatan maupun fasilitasnya. Secara ekstrem dunia pekerjaan bagi pelakunya telah menjadi "beban" seperti di atas. Keras, saling sikut, adu gengsi, menekan, terus berubah, "deadline" dan seterusnya. Mari kita lihat dengan cara pandang lain, dengan memulai bertanya pada diri kita sendiri "Bagaimana bila pekerjaan kita hilang? Oops. Pernah kita membayangkannya?" Di Jepang ada sebuah cerita unik, dan sempat dikutip dalam berbagai versi dan cerita. Kisah seorang karyawan yang telah diPHK, dan tetap "pergi ke kantor." Seperti biasa dari rumah ia pamit bekerja kepada istri dan anaknya, karena ia tidak memberitahu kepada istri dan anaknya bahwa ia telah PHK, naik kereta bawah tanah---tidak ke kantornya---tapi berkeliling menghabiskan waktunya sesuai jam kerja. Dan dia melakukannya selama 6 bulan, setiap hari kerja! Kisah ini juga, konon, terjadi dalam berbagai versi di Indonesia.Atau, coba kita lihat saudara-saudara kita yang kehilangan "pekerjaannya"---atau kalaupun bekerja, mereka bekerja di "bawah harga"---mengandalkan otot, dan tetap bekerja sekeras-kerasnya meski hasilnya tak pernah mencukupi. Tanpa bermaksud membandingkan, mudah-mudahan sekarang kita bisa melihat sesuatu yang "berbeda." "Bekerja adalah karunia! Dan patut disyukuri" begitu kata teman saya. Selama kita masih sibuk, dikejar target, peraturan dan sistem terus berubah, artinya pekerjaan kita "tetap ada." Kita masih dibutuhkan. Perusahaan tempat kita bekerja tetap "hidup." Kita masih bisa mempunyai rencana-rencana pribadi dan keluarga menyambut masa depan.Tantangannya tentu adalah bagaimana kita bisa membuat seimbang antara keluarga dan kerja. Tantangannya adalah "I like Monday" dan "Thank God It's Friday" secara sejajar.

Salam Kerja Keras..!!
Selalu Berfikir positif,
Sukses untuk anda.