Cari Blog Ini

Jumat, 12 Februari 2016

IBADAH



Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan atau perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin. Adapun ibadah terbagi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan atau perbuatan. 
Ibadah lisan & hati (lisaniyah wa qalbiyah) antara lain :  dzikir, tasbih, tahlil, tahmid, takbir, syukur, berdoa, membaca ayat Al-qur’an.
Ibadah perbuatan fisik dan hati (badaniyah wa qalbiyah) antara lain : sholat, zakat, haji, berjihad, berpuasa. 

DASAR HUKUM IBADAH :
Pelaksanaan Ibadah adalah berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW bukan berdasar pada Ulama, Kyai, Ustadz atau yang lainnya ( Ulama dll tersebut seharusnya hanya menyampaikan Ayat dan hadist bukan membuat aturan sendiri yang dianggap mereka benar )
Hukum asal dari ibadah adalah haram kecuali ada dalil. Maksudnya adalah semua bentuk ibadah adalah haram untuk dikerjakan kecuali kalau ada dalil dari Al-Qur’an Al-Karim atau Hadits Shohih yang mewajibkannya atau mensunahkannya. Seperti sholat, puasa, zakat, haji adalah haram dikerjakan pada asalnya, namun dikarenakan ada dalil yang mewajibkannya maka hukumnya menjadi wajib untuk dikerjakan.

Dalil tentang wajibnya sholat dan zakat adalah firman Allah Ta’ala:
“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” ( QS. Al Baqoroh : 83 )
Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR. Bukhari)

 Dalil tentang kewajiban puasa adalah firman Allah Ta’ala:


“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” ( QS. Al Baqoroh : 183 )

Dalil tentang kewajiban haji adalah firman Allah Ta’ala :

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. ( QS. Ali ‘Imran : 97 )

Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah I semata dan persaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul –Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa romadhon dan pergi haji”. [ HR. Bukhari dan Muslim]

IBADAH TANPA TUNTUNAN ADALAH BID’AH

Dalam riwayat An-Nasaai Rasulullah SAW bersabda :


"Dan semua perkara yang baru adalah bid'ah dan seluruh bid'ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka"
(HR An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan dari wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata para sahabat radhiallahu 'anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat 'Irbaadh bin Sariyah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :


"Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah kesesatan"
(HR Abu Dawud no 4069)

DEFINISI BID’AH
Bid’ah secara bahasa artinya adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. 

 PENJELASAN DEFINISI BID’AH
Beberapa karakteristik sesuatu hal dikatakan sebagai bid’ah :
1)    Telah menjadi sebuah ‘jalan’.
Bukan sesuatu hal yang sekedar ‘pernah’ dilakukan, tapi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, sehingga menjadi ‘jalan’.
Contohnya :
Doa setelah sholat yang harus membaca doa tertentu diluar yang dicontohkan Rasulullah SAW dan menganggap itu bacaan wajib sehingga dilakukan seolah sebagai kewajiban
 
2)    Dalam urusan Dien (bukan duniawi).
Dalam urusan duniawi dipersilahkan berinovasi seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam.

Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian (H.R Muslim)
Segala sesuatu apa yang kita lakukan di dunia ini adalah diperbolehkan, berinovasi, berimprovisasi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dengan Tehnologi apapun diperbolehkan kecuali ada larangan dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasulullah SAW

3)    Diada-adakan, tidak ada dalilnya.
Tidak ada dalil shahih yang menjadi landasannya. Jika ada dalil, bisa berupa hadits lemah atau hadits palsu, atau ayat yang ditafsirkan tidak pada tempatnya.
Segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk alasan berhubungan dengan Allah SWT baik itu : Doa, pujian, harapan, yg tanpa ada dasar hukum yang jelas dari Al-Qur’an dan sunnah rasulullah SAW itu Bid’ah.

Contoh  :
Sholat wajib dengan mengurangi atau menambahkan jumlah rakaat, bacaan dan aturan bakunya
Berpuasa yang tidak disari’atkan oleh Rasulullah SAW missal Puasa mutih, puasa hari kelahiran puasa ngebleng dsb.
Membaca surat tertentu dari Al-Qur’an ( Yasinnan ) yang dianggap bisa membuat orang sakit cepat sembuh, bisa mempercepat orang mudah meninggal karena sakit lama tidak sembuh sembuh, ( hadist untuk Yasinan ini ada tapi hadistnya dla’if  jadi tidak bisa dijadikan dasar beribadah)
Tahlilan untuk orang meninggal, 3 hari, 7 hari, 40 hari, satu tahun dsb ini kegiatan sia sia karena tidak ada hadist shoheh yang mendasarinya, kegiatan ini amalnya tertolak, pemborosan dan daging sembelihannya haram untuk dimakan karena disembelih sebagai sesaji untuk orang yang sudah meninggal sekalipun dalam penyembelihannya dengan menyebut nama Allah SWT.

4)    Menandingi syariat
Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah kecuali Sunnah yang semisalnya akan mati.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) dalam Fathul Baari (13/253)

Contoh:
Bacaan-bacaan setelah selesai sholat fardlu banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Namun, ada seseorang yang karena merasa mendapatkan ijazah bacaan dari gurunya (meski tidak ada dalilnya dari hadits Nabi), selalu mengulang-ulang bacaan yang diajarkan tersebut setelah selesai sholat. Misalkan, membaca Laa Ilaaha Illallaah 333 kali, disertai keyakinan keutamaan-keutamaannya (memperlancar rezeki, kewibawaan, dsb). Akibatnya, ia akan tersibukkan dengan amalan dari gurunya tersebut dan meninggalkan Sunnah Nabi yang sebenarnya.

5)    Niat melakukannya adalah sebagaimana orang berniat dalam melakukan syariat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
Penjelasan ini disarikan dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh ketika mensyarh hadits ini (Syarh al-Arbain anNawawiyyah)

Rasulullah SAW bersabda

ٍDari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
  
Niat disini yang dimaksud adalah tujuan dari keinginan kita beribadah tersebut semata mata karena Allah SWT dan tentu dalam pelaksanaan ibadahnya tersebut juga yang dituntunkan di dalam Al-Qura’an amupun di sunnah Rasulullah SAW.

Contohnya :
Bertujuan ingin menolong orang yang kelaparan tetapi dengan cara mencuri harta milik orang kaya atau harta milik orang kafir.

SEMUA BID’AH ADALAH SESAT
Semua bid’ah -secara istilah- sebagaimana definisi di atas adalah sesat.
Sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah sesat (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Dalam hadits Jabir dinyatakan bahwa Nabi selalu mengulang-ulang ucapan semacam itu pada permulaan-permulaan khutbah beliau baik pada saat Khutbah Jumat atau di waktu lain

Ucapan para Sahabat Nabi:
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridlainya- berkata:
Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah sesat (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
Sederhana di dalam Sunnah lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah (riwayat al-Hakim).
  
(Maksudnya, sedikit amalan namun di atas Sunnah (sesuai bimbingan Nabi) lebih baik dibandingkan banyak beramal dan bersungguh-sungguh, namun di atas kebid’ahan)
Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- berkata:
Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik (diriwayatkan oleh alBaihaqy dalam al-Madkhal dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)

Muadz bin Jabal –semoga Allah meridlainya- berkata:
Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam Dien) adalah sesat (Hilyatul Awliyaa’ (1/233)).
Ibnu Abbas –semoga Allah meridlainya-berkata:Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan istiqomah, ikutilah (Sunnah Nabi) jangan berbuat kebid’ahan (diriwayatkan oleh ad-Daarimi).

Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:
Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim).


BAGAIMANA MENGHINDARI BID’AH

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( QS : Al Isra:36)

Alloh Ta’ala berfirman:

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)”
(Al-A’raf:33)

Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al-Hujuraat: 1)

 Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun.
(HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

Wasalam Semoga Bermanfaat

Kamis, 11 Februari 2016

Keutamaan Silaturahmi





Bahasan berikut akan mengangkat perihal keutamaan silaturahmi. Lalu akan ditambahkan dengan pemahaman yang selama ini keliru tentang makna ‘silaturahmi’. Karena salah kaprah, akhirnya jadi salah paham dengan hadits yang menyatakan bahwa silaturahmi akan memperpanjang umur. Lebih baik kita simak saja ulasan singkat berikut. Moga bermanfaat.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)
Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits di atas. Yang tepat, menjalin tali silaturahmi adalah istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat. Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar dalam Al Fath menjelaskan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.” Itulah makna yang tepat.